Pukul 6 pagi alarm berbunyi cukup nyaring, sentak terbangun dari tempat tidur di penginapan Wisma Asri, Bandung. Suhu dingin Bandung masih terasa meski banyak orang mengatakan "Bandung tak sedingin dulu".
Semua persiapan harus selesai sebelum mengambil mobil di tempat penyewaan yang sudah dipersiapkan teman saya pada hari sebelumnya.
Kami berangkat cukup pagi karena hari Sabtu banyak juga yang berlibur di Bandung, menikmati cuaca dingin dan pergi ke tempat-tempat wisata. Percayalah, terlambat sedikit saja pasti kena macet. Semua sepakat untuk berkunjung ke Kawah Putih karena sudah banyak pelancong yang mengakui keindahannya.
Perjalanan yang cukup jauh rupanya, sekitar 2 jam dari tempat penginapan hingga ke kampung Ciwidey. Setibanya di sana, ada perhentian dan juga tempat parkir di kaki gunung Patuha, banyak penjual souvenir yang menawarkan topi hingga jaket karena dinginnya cuaca di puncak Kawah Putih. Tempat itu juga merupakan tempat memesan tiket untuk bagi pengunjung yang ingin menggunakan angkutan khusus ke puncak Kawah Putih. Saya memutuskan untuk memarkir kendaraan dan menggunakan angkutan tersebut, selain menghindari tanjakan yang cukup tinggi, berbaur dengan pengunjung lain merupakan pengalaman tersendiri yang menarik.
Pengemudi angkutan ini terlihat sudah terbiasa melewati beberapa tanjakan dan tikungan yang menurut saya lumayan berbahaya, mobilpun dibawanya cukup cepat.
Tak perlu menunggu lama kami tiba di puncak Kawah Putih. Tersedia tempat parkir untuk pengunjung yang membawa kendaraan pribadi.
Anak tangga menuruni kawah sudah tersedia, sehingga tidak menyulitkan pengunjung yang sudah berumur untuk menikmati pemandangan Kawah Putih yang mengagumkan.
Bagi yang tidak tahan dengan bau belerang, saya sarankan untuk menggunakan masker. Tak sulit menemukan masker disini.
Anak tangga terakhir saya pijakkan, dan terhenti untuk sekedar mengagumi keindahan kawah yang sangat berbeda dengan kawah lainnya.
Secuil cerita dibalik eloknya kawah ini. Menurut cerita penduduk Ciwidey asli, dulunya tak ada penduduk yang berani menginjakkan kaki di gunung Patuha ini karena keangkerannya, dipercaya tempat ini merupakan tempat berkumpulnya arwah para leluhur. Bahkan menurut kuncen Abah Karna di tempat ini terdapat makam para leluhur. Masyarakat sesekali secara gaib melihat sekumpulan domba berbulu putih yang dipercaya sebagai jelmaan para leluhur.
Nama Patuha sendiri konon berasal dari kata Pak Tua (sepuh), sehingga masyarakat sering menyebutnya Gunung Sepuh. Menurut beberapa keterangan, Gunung Patuha pernah meletus pada abad X sehingga menyebabkan adanya kawah disebelah barat puncak. Kemudian pada abad XII kawah disebelah kirinya juga meletus dan membentuk danau yang indah.
Tahun 1837, seorang Belanda bernama Dr. Franz Wilhelm Junghuhn (1809 - 1864) menemukan tempat ini, dan menjadi awal mula berdirinya pabrik belerang Kawah Putih dengan sebutan Zwavel Ontgining Kawah Putih.
Dilarang keras bagi pengunjung untuk tidak terlalu dekat dengan air danau yang bercampur belerang, dan dianjurkan untuk tidak berlama-lama disekitar kawah karena dapat menyebabkan sesak nafas bagi yang memiliki riwayat penyakit asma.
Semua persiapan harus selesai sebelum mengambil mobil di tempat penyewaan yang sudah dipersiapkan teman saya pada hari sebelumnya.
Kami berangkat cukup pagi karena hari Sabtu banyak juga yang berlibur di Bandung, menikmati cuaca dingin dan pergi ke tempat-tempat wisata. Percayalah, terlambat sedikit saja pasti kena macet. Semua sepakat untuk berkunjung ke Kawah Putih karena sudah banyak pelancong yang mengakui keindahannya.
Perjalanan yang cukup jauh rupanya, sekitar 2 jam dari tempat penginapan hingga ke kampung Ciwidey. Setibanya di sana, ada perhentian dan juga tempat parkir di kaki gunung Patuha, banyak penjual souvenir yang menawarkan topi hingga jaket karena dinginnya cuaca di puncak Kawah Putih. Tempat itu juga merupakan tempat memesan tiket untuk bagi pengunjung yang ingin menggunakan angkutan khusus ke puncak Kawah Putih. Saya memutuskan untuk memarkir kendaraan dan menggunakan angkutan tersebut, selain menghindari tanjakan yang cukup tinggi, berbaur dengan pengunjung lain merupakan pengalaman tersendiri yang menarik.
Pengemudi angkutan ini terlihat sudah terbiasa melewati beberapa tanjakan dan tikungan yang menurut saya lumayan berbahaya, mobilpun dibawanya cukup cepat.
Tak perlu menunggu lama kami tiba di puncak Kawah Putih. Tersedia tempat parkir untuk pengunjung yang membawa kendaraan pribadi.
Anak tangga menuruni kawah sudah tersedia, sehingga tidak menyulitkan pengunjung yang sudah berumur untuk menikmati pemandangan Kawah Putih yang mengagumkan.
Bagi yang tidak tahan dengan bau belerang, saya sarankan untuk menggunakan masker. Tak sulit menemukan masker disini.
Anak tangga terakhir saya pijakkan, dan terhenti untuk sekedar mengagumi keindahan kawah yang sangat berbeda dengan kawah lainnya.
Secuil cerita dibalik eloknya kawah ini. Menurut cerita penduduk Ciwidey asli, dulunya tak ada penduduk yang berani menginjakkan kaki di gunung Patuha ini karena keangkerannya, dipercaya tempat ini merupakan tempat berkumpulnya arwah para leluhur. Bahkan menurut kuncen Abah Karna di tempat ini terdapat makam para leluhur. Masyarakat sesekali secara gaib melihat sekumpulan domba berbulu putih yang dipercaya sebagai jelmaan para leluhur.
Nama Patuha sendiri konon berasal dari kata Pak Tua (sepuh), sehingga masyarakat sering menyebutnya Gunung Sepuh. Menurut beberapa keterangan, Gunung Patuha pernah meletus pada abad X sehingga menyebabkan adanya kawah disebelah barat puncak. Kemudian pada abad XII kawah disebelah kirinya juga meletus dan membentuk danau yang indah.
Tahun 1837, seorang Belanda bernama Dr. Franz Wilhelm Junghuhn (1809 - 1864) menemukan tempat ini, dan menjadi awal mula berdirinya pabrik belerang Kawah Putih dengan sebutan Zwavel Ontgining Kawah Putih.
Dilarang keras bagi pengunjung untuk tidak terlalu dekat dengan air danau yang bercampur belerang, dan dianjurkan untuk tidak berlama-lama disekitar kawah karena dapat menyebabkan sesak nafas bagi yang memiliki riwayat penyakit asma.
0 comments:
Post a Comment